Kecuali, imbuh dia, tarif PCR bisa ditekan lagi hingga Rp100 ribu per tes. Dia juga menilai, kebijakan tersebut diskriminatif. Pasalnya, perjalanan orang dengan kendaraan pribadi bisa begitu bebas. Di lapangan selama ini tak ada pengendalian kendaraan pribadi, baik roda empat maupun roda dua. Padahal, perjalanan dengan menggunakan kendaraan pribadi jauh lebih banyak terjadi. Alhasil alasan pencegahan penularan Covid-19 pun jadi tak konsisten dan tak setara.
Oleh sebab itu, pihaknya menyarankan agar tidak semua moda transportasi wajib dikenakan PCR. Harusnya, PCR dikembalikan ke ranah medis. Terlebih sudah banyak masyarakat yang sudah divaksin Covid-19.
Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan, penurunan harga PCR Rp300 ribu masih akan membebani rakyat, mengingat harga tiket transportasi massal banyak yang lebih murah dari harga tes PCR. Misalnya, masih ada tiket kereta api yang harganya di kisaran Rp75 ribu untuk satu kali perjalanan. Begitu pula dengan tiket bus AKAP dan kapal laut.
"Saya kira kurang tepat bila kemudian warga masyarakat pengguna transportasi publik harus membayar lebih dari 3 kali lipat harga tiket untuk tes PCR," kata Puan.
Menurutnya, kebijakan tes PCR bagi semua pengguna moda transportasi bertujuan untuk mengantisipasi gelombang baru Covid-19, terutama jelang libur Natal dan Tahun Baru. Namun hendaknya harga PCR jangan lebih mahal dari tiket transportasi publik yang mayoritas digunakan masyarakat. Jika harga tes PCR masih lebih mahal dari tiket transportasi massal yang mayoritas digunakan masyarakat, Puan khawatir akan terjadi diskriminasi terhadap warga masyarakat. Apalah artinya masyarakat yang mampu membayar tiket perjalanan, namun tidak mampu membayar tes PCR. "Lantas tidak berhak melakukan perjalanan? Hak mobilitas warga tidak boleh dibatasi oleh mampu tidaknya warga membayar tes PCR," kata Puan.
Selain itu, Puan juga menyoroti fasilitas kesehatan di daerah-daerah yang akan melakukan tes PCR jika kebijakan ini akan diberlakukan. Apakah fasilitas kesehatan di semua daerah sudah mumpuni jika tes PCR jadi syarat wajib di semua moda transportasi? Hal itu harus betul-betul dipertimbangkan.
Lebih lanjut, cucu Proklamator RI Bung Karno itu menilai tes PCR sebaiknya tetap difungsikan sebagai alat diagnosa Covid-19. Untuk skrining, menurut Puan, tes antigen ditambah optimalisasi aplikasi PeduliLindungi sudah cukup. Menurutnya, aplikasi PeduliLindungi dibuat untuk mengetahui status seseorang.
"Seharusnya itu yang dimaksimalkan, bagaimana pemerintah mampu men-tracking suspect Covid-19 agar tidak berkeliaran hingga statusnya kembali hijau," paparnya.
Untuk menghindari gelombang ketiga Covid-19 yang diprediksi akan terjadi imbas libur panjang akhir tahun, Puan berharap pemerintah lebih menekankan penegakan disiplin protokol kesehatan (prokes) masyarakat. Selain pengetatan skrining, langkah 3T (testing, tracing, treatment) dan vaksinasi harus semakin digencarkan.
Namun jika pemerintah merasa masih memerlukan kebijakan tambahan untuk mengantisipasi libur Natal dan Tahun Baru ini, hendaknya jangan membatasi di hilir dengan tes PCR.
"Tetapi menerapkan kebijakan tambahan di hulu," tegasnya.
Tanggapan DPR
Legislatif mengapresiasi niat pemerintah menurunkan harga PCR menjadi maksimal Rp300 ribu. Namun, sebagian dari mereka menilai bahwa penurunan harga maupun penambahan jangka waktu PCR tidak lantas menyelesaikan persoalan utama. Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay menegaskan bahwa yang dituntut oleh masyarakat adalah penghapusan syarat PCR untuk penerbangan. Bukan penurunan harga.
"Kalau hanya diturunkan dan diperpanjang masa berlakunya, akar masalahnya belum tuntas. Orang-orang tetap masih harus merogoh kocek lebih dalam untuk membayar tes PCR," jelas Saleh kemarin.
Meski tingkat akurasinya tidak setinggi PCR, Saleh mengklaim bahwa kasus positif juga banyak ditemukan hanya dengan antigen. "Banyak juga orang yang tes antigen dinyatakan positif, lalu dikarantina dan diisolasi. Artinya, testing antigen tetap efektif untuk dipergunakan. Antigen juga lebih terjangkau bagi masyarakat sehingga lebih memungkinkan dijadikan prasyarat perjalanan," jelasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menilai bahwa pemerintah perlu menindaklanjuti masukan publik tentang mahalnya tes PCR. Namun, Dasco juga menyoroti pentingnya upaya preventif agar kasus positif tidak naik kembali karena banyak warga bepergian.
Apalagi ahli memprediksi adanya gelombang ketiga pada akhir 2021 atau awal 2022 apabila masyarakat tidak berhati-hati dan taat prokes dalam mobilitasnya. Untuk itu, Dasco menyarankan perlu adanya solusi agar PCR lebih terjangkau untuk banyak masyarakat. Juga perlu ada tinjauan lebih jauh mengenai penerapan wajib PCR ini ke moda transportasi lain.
"Kita lihat nanti, moda transportasi yang jarak-jarak pendek tidak perlu. Kalau pesawat ini kan lintas provinsi atau lintas negara, saya pikir perlu (PCR)," jelas Dasco di Kompleks Parlemen Senayan kemarin.
Soal harga PCR, Dasco juga menilai masih ada kemungkinan nominalnya turun dari angka maksimal yang disebutkan pemerintah, yakni Rp300 ribu. Penurunan bisa dilakukan secara bertahap seiring dengan kasus yang semakin landai dan alat tes yang tersedia semakin banyak. "Saya pikir harga Rp300 ribu itu kan harga maksimal, kita akan coba di situ bertahap, mungkin bisa lebih murah," lanjutnya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR Nihayatul Wafiroh tak ketinggalan menyoroti kebijakan kewajiban swab PCR bagi penumpang pesawat terbang. Dia dengan tegas menolak kewajiban tersebut. Politisi dari Banyuwangi, Jawa Timur itu mengatakan aturan kewajiban swab PCR tersebut memberatkan masyarakat. "Memberatkan dari sisi biaya, tenaga, maupun waktu," kata perempuan yang akrab disapa Ninik itu.
Dia mengatakan tidak semua daerah memiliki laboratorium atau tempat pemeriksaan swab PCR. Selain itu dia mengatakan aturan swab PCR tersebut juga menurunnya minat masyarakat terhadap transportasi udara. Sehingga bakal berdampak untuk pertumbuhan perekonomian Indonesia. Menurut dia ketentuan wajib swab PCR sangat merepotkan. Aturan ini seperti sebuah kebijakan yang Jakarta sentris. Untuk itu dia meminta supaya pemerintah merevisi aturan kewajiban swab tersebut. Aturan ini juga tidak sejalan dengan ketentuan sebelumnya. Politisi PKB itu mengatakan di aturan sebelumnya, penumpang yang sudah menerima dua dosis vaksinasi Covid-19 cukup melakukan swab antigen saja. Sementara untuk penumpang yang baru menerima satu dosis vaksin Covid-19, wajib swab PCR.
Sebagaimana diketahui aturan terbaru itu dituangkan dalam Inmendagri 53/2021 yang berlaku pada 19 Oktober sampai 1 November 2021. Di dalam instruksi itu diatur penumpang harus menunjukkan hasil tes PCR (H-2) untuk pesawat udara. Sedangkan penumpang angkutan lainnya cukup hasil swab antigen (H-1).(tau/mia/lum/lyn/wan/deb/jpg)